sejarah

Selasa, 23 September 2014

Setitik Sejarah Israel Kuno

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Kalimat tersebut mengawali buku pertama dari Alkitab Yahudi (Jewish Bible) berjudulBereshit, yang artinya ‘pada mulanya.’ Kisah penciptaan dunia mengawali awal tradisi Yahudi secara rohani, meski kisah ini bukan awal dari Judaisme sebagai sistem keagamaan. Judaisme sebagai sistem keagamaan yang kita kenal masa kini dapat ditelusuri keberadaannya sejak penghancuran Bait Allah Kedua (Second Temple) oleh Titus pada tahun 70 M, karena sejak saat itulah pemeluk agama ini harus menemukan cara lain untuk beribadah jauh dari tanah kelahiran agama ini, tanpa pusat keagamaan mereka yang telah hancur.
Dalam perjalanan sejarah Judaisme, terdapat berbagai titik sejarah yang patut mendapat perhatian. Awal sejarah panjang Judaisme dapat ditarik dari masa Musa,yang kisahnya beriringan dengan peristiwa keluarnya bangsa Israel dari perbudakkan (exodus). Di masa inilah bangsa yang disebut Israel mendapatkan berbagai dasar keagamaan mereka, di antaranya Sepuluh Perintah Allah dan peribadatan di Kemah Suci (Tabernacle). Selain itu, Allah mereka juga menyatakan diriNya dengan menggunakan namaNya: “Aku adalah Aku”, yang dikenal dengan istilahtetragrammaton. Untuk menegaskan, dalam periode waktu yang sama, sistem religi ini mendapatkan prinsip monoteistiknya, yang dikenal sebagai Shema, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!”
Setelah Daud mengonsolidasikan bangsa Israel dalam wujud kerajaan, membangun sebuah tempat ibadah menjadi sangat penting. Salomo, anaknya, mendirikan Bait Allah di kota Yerusalem pada tahun 970 SM, yang menjadi pusat peribadahan agama ini, sampai dihancurkan ketika Israel jatuh ke dalam penaklukkan Babilonia pada tahun 586 SM. Raja Cyrus yang Agung (Koresy) melalui dekritnya kemudian memulangkan bangsa Israel kembali ke tanah kelahirannya untuk mendirikan tempat ibadahnya kembali. Beberapa kelompok orang Yahudi ini kemudian mulai kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 538 SM. Pembangunan ini menghasilkan Bait Allah Kedua (Second Temple), yang kemudian diperbesar oleh Raja Herodes Agung. Pada saat ini, bangsa Israel mendapatkan tempat ibadahnya kembali, meski mereka kehilangan salah satu simbol keberadaan Allah: Tabut Perjanjian (Ark of the Covenant).
Ketika perhatian kita dialihkan dengan sebuah periode kosong di antara tulisan Alkitab Yahudi dan Perjanjian Baru (New Testament) Kristiani, ada beberapa tahapan sejarah yang turut mewarnai perkembangan Judaisme: bangkitnya Dinasti Hasmonean (sekitar pertengahan abad kedua Sebelum Masehi) dan kanonisasi Alkitab Yahudi pada bentuknya kini yang dikenal oleh penganut Judaisme melalui sebuah konsili di Jamnia pada tahun 100 M.
Sementara itu, benturan antara kaum Yahudi dengan para penguasa dunia tidak lagi terhindarkan. Setelah surutnya kekuasaan peradaban Yunani dengan wafatnya Aleksander Agung pada tahun 323 SM, bangsa Yahudi dipimpin oleh seorang Siria bernama Antiokhus IV Efifanes pada tahun 175 SM. Meski demikian, pada akhirnya pemerintahan Antiokhus tidak mendapatkan dukungan dari bangsa Yahudi – bahkan justru memicu pemberontakan. Setelah pemberontakan ini mengakhiri masa pemerintahan Antiokhus, sebuah keluarga mendatangi Bait Allah dan menyalakan lampu-lampu peribadatan yang ternyata tidak pernah mati. Bait Allah kemudian dikuduskan kembali, dan kini dirayakan sebagai Festival Cahaya, atau yang dikenal dengan nama Hanukkah. Keluarga inilah yang kemudian mendirikan Dinasti Hasmonean.
Bangsa ini kemudian menjadi bagian dari Imperium Romawi, dan sejarah bangsa Yahudi akan berbenturan dengan lahirnya Kristianitas. Di bawah pemerintahan bangsa Romawi, Herodes Agung (memerintah 37 SM-4 SM) mengonsolidasikan wilayahnya, memperbesar Bait Allah (sehingga dikenal sebagai Herod’s Temple), dan menciptakan perdamaian di tanah Judea. Walau demikian, tidak semua orang dapat menerima pemerintahan Romawi di tanah mereka, sehingga melahirkan banyak pemberontakan. Bangsa Romawi menekan pemberontakan-pemberontakan yang ada dengan cara yang sangat keras, yang mencapai puncaknya ketika Bait Allah dihancurkan pada tahun 70 M, yang sekaligus menandai dimulainya Diaspora Yahudi.
Baru setelah terjadinya Diaspora muncul upaya untuk menyatukan hukum dan standar hidup bagi penganut Judaisme. Meskipun Bait Allah sudah tidak ada, semua penganutnya tetap menjalankan ibadah dan mengingat akan pusat keagamaan mereka. Baru pada tahun 200 M, kepala komunitas Judaisme di tanah Israel, Rabbi Yehuda Hanassi, mengumpulkan seluruh hukum keagamaan Yahudi dalam satu dokumen bernama Mishnah. Mishnah kemudian dilengkapi pada tahun 300 M oleh sebuah buku pembahasan Mishnah yang bernama Gemara. Gabungan kedua buku ini kemudian dikenal dengan nama Talmud, dan menjadi fondasi hidup penganut Judaisme hingga kini.

2 komentar: